'Assalamu'alaikum'.
Saya belajar menyapa orang lain dari ibu saya. Beliau selalu tersenyum dan ramah menyapa orang lain, khususnya dengan mengucapkan 'Assalamu'alaikum' kepada saudara sesama muslim. Salam adalah identitas seorang muslim. Hal ini telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah Muhammad shallallahu'alaihi wasallam. Kesantunan dan mulianya budi pekerti beliau tidak diragukan lagi. Beribu literatur telah dituliskan dan ditelaah oleh para ahli sejarawan dan ilmuwan, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Bahkan secara jelas Alloh 'azza wa jalla berfirman bahwa Dia telah mengutus sebaik-baik manusia untuk dijadikan contoh dan panutan dalam bersikap dan berperilaku bagi seluruh umat manusia (Al-Ahzab:21).
Mencontoh beliau adalah sebaik-baik amal perbuatan. Adapun beliau mengajarkan dan mendidik umatnya dalam seluruh aspek berperilaku dalam kehidupan tak terkecuali dalam hal bersosialisasi dengan sesama manusia, khususnya sesama muslim. Oleh karena itu, setiap gerak hidup seorang muslim terhitung sebagai amal ibadah jika lakunya sesuai dengan tuntunan Sang Rasul.
Kesimpulan bahwa penduduk negeri yang mayoritas muslim ini telah mulai kehilangan 'Panutannya' tampak dari berbagai fenomena yang teramati sepanjang hidup ini.
Dari Abu Musa bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin satu bagi mukmin yang lain adalah ibarat satu bangunan, yang satu bagian memperkuat bagian yang lain, dan beliau menyelipkan jari-jari satu jari tangannya dengan jari tangan yang lain (H.R. Bukhari).
Sebuah perumpamaan indah yang Rasulullah sampaikan mengenai bagaimana seharusnya kondisi persatuan umatnya kini tak cukup sesuai untuk menggambarkan kondisi umat saat ini. Negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini kian terkotak-kotakkan, satu sama lain saling merasa asing, dan mulai mengeksklusifkan diri dengan kelompoknya masing-masing. Bahkan untuk hal sesederhana 'salam' terasa aneh jika diucapkan kepada orang lain yang tidak dikenal sebelumnya.
Inilah salah satu 'PR' umat Islam saat ini. Alangkah indahnya jika salam menjadi budaya. Tak pandang siapa dan dimana, salam lembut nan mulia yang saling terucap menebarkan cinta dan rasa kesatuan sebagai umat yang satu, Umat Islam. Perilaku sederhana namun mulia yang mencontoh sempurnanya akhlak Pembawa Risalah Islam sebagai agama yang saat ini dianut.
Salam adalah perekat kesatuan umat yang sudah Rasulullah wasiatkan sekian abad yang lalu.
Bahkan salam merupakan suatu hak yang harus saling dipenuhi antarumat muslim (lihat https://rumaysho.com/182-ucapan-salam-amalan-mulia-yang-ditinggalkan.html).
Sungguh malangnya kita jika dengan satu wasiat untuk 'saling bersalam' saja sudah mulai kita tinggalkan, lalu bagaimana dengan wasiat-wasiat yang lain?
Bahkan salam merupakan suatu hak yang harus saling dipenuhi antarumat muslim (lihat https://rumaysho.com/182-ucapan-salam-amalan-mulia-yang-ditinggalkan.html).
Sungguh malangnya kita jika dengan satu wasiat untuk 'saling bersalam' saja sudah mulai kita tinggalkan, lalu bagaimana dengan wasiat-wasiat yang lain?
Ah, mungkin benar kita sudah kian menjauh dari sunnah Rasulullah, atau kita sebenarnya masih asing dengan agama Islam yang kita anut? Na'udzubillahi mindzalik.
Mungkin sebagian dari kita akan bergumam, 'Saya selalu menyapa orang lain kok, meski tidak dengan mengucap salam'.
Sungguh, salam adalah sesuatu yang berbeda, saudaraku. Kita akan rasakan suatu keistimewaan, yaitu suatu perasaan yang bukan sekedar ekspresi saling menghargai dan menghormati, namun juga meningkatkan loyalitas sebagai satu kesatuan umat atas dasar cinta ketuhanan, Cinta Tauhid.
Maka mari kita hidupkan kembali 'identitas yang hilang'. Semakin awal kita memulai, maka akan semakin banyak amal jariyah yang mengalir karena pahala atas usaha membiasakan dan mencontohkan salam kepada orang lain.
Salam yang Rasulullah contohkan menyapa semua golongan usia, dari anak-anak hingga tua renta.
#Pengalaman pribadi sebagai pembelajaran
Saya membiasakan salam dengan orang lain, tak terkecuali dengan anak-anak kecil di sekitar lingkungan rumah. Meski mereka masih sering menyapa dengan memanggil nama saya, saya selalu menimpalinya dengan salam dan merekapun menjawab salam saya.
Hal ini berlangsung hampir tiap hari semasa saya kuliah karena saya seringkali kembali ke rumah setelah selesai beraktivitas di sore hari saat anak-anak berkumpul dan bermain di lapangan.
Suatu ketika saya mengendarai motor melewati anak-anak yang sedang bermain, karena terburu-buru saya tidak sempat mengucap salam kepada mereka. Namun, justru mereka menyapa saya dengan salam. Hal itu dimulai oleh salah seorang anak dan segera diikuti oleh teman-teman yang lainnya. Seketika saya sangat senang dan menjawab salam mereka dengan riang. Alhamdulillah, mereka mulai belajar menyapa dengan salam.
Namun, saya merasa sedih karena budaya menyapa dengan salam hanya berlaku antara mereka dengan saya saja. Mengapa begitu? Ya, karena hal tersebut tidak dilakukan pula oleh mayoritas orang lain di sekitar mereka.
Hmmm...
Kesimpulannya adalah membangun sebuah peradaban hanya dapat dilakukan dengan persatuan bersama. Kemungkinan berhasil sangat kecil jika membangun peradaban dengan segelintir pejuang saja.
Kesimpulannya adalah membangun sebuah peradaban hanya dapat dilakukan dengan persatuan bersama. Kemungkinan berhasil sangat kecil jika membangun peradaban dengan segelintir pejuang saja.
Namun, semua itu tak jadi masalah. Memulai dari diri sendiri adalah langkah terbaik. Berawal dari satu akan tumbuh seribu. InsyaAllah, Allah menghendaki keberkahan suatu usaha dengan pahala yang akan terus mengalir jika kita tulus melakukan karena-Nya. Harapannya jika anak-anak bertambah besar nanti mereka akan memahami bahwa salam adalah identitas sebagai seorang muslim, suatu perilaku yang harus dibudayakan untuk merekatkan persatuan ummat .
Yuk, semangat budayakan salam. Kita mulai dari awal ya, dari diri kita sendiri.
"Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh".
Komentar
Posting Komentar